Sebuah benda elektronik tercanggih di abad ini, begitu kata Dikdik tentang komputernya.
Dikdik mengoceh tentang komputernya itu pada teman bermainnya, sobat di sekolahnya, atau kompolotan di tempat les Inggrisnya.
"Kemarin Mas Danang bawa sega dan kami memainkannya di komputer," cetus Dikdik pagi itu sebelum masuk kelas, di hadapan para pendengar setianya. Kelompenmudik, istilah Hesty yang mulai jengkel melihat tingkah ketua kelasnya itu.
"Masmu itu kan sudah mahasiswa. Masa' masih main sega?" cetus Haris. "Yeah, refreshing, refreshinglah daripada stres dijejali pelajaran terus!" kata Dikdik dengan gayanya. "Sega bisa dimainkan di komputer, ya Dik?"
Butet keheranan. Setahunya, sega dilayarkan di televisi. Seperti pernah lihatnya di rumah Bayu, sepupunya.
"Bisa dong, Tet! Makanya sekali-sekali kamu main komputer. Jangan pakai mesin ketik mamamu yang sudah ketinggalan zaman itu!" ujar Dikdik sambil mengejek Butet. Padahal, siapa pun sudah kenal siapa Butet Sirepar.
Sejak kelas satu sampai kelas enam di SDN Cipayung, Butet selalu peringkat pertama. Ibunya seorang pengarang cerita anak-anak.
Makanya, Butet sering membantunya mengetikkan naskah. Terutama kalau ibunya sedang diburu waktu, dimintai para penerbit karya-karyanya yang terbaru.
"Sombong banget sih si Dikdik ini!" gerutu Hesty kasihan melihat sahabatnya diejek begitu. Namun, Butet tampak sabar dan tersenyum manis.
"Kalau begitu, boleh aku ke rumahmu, Dik?" katanya sesaat kemudian.
"Buat apa?" Dikdik menatap Butet keheranan." Kamu kan paling jarang main ke rumah teman. Repoooot terus!
Habiiis, mesin ketik butut siih!" dengusnya tanpa basa-basi. " Coba kalau pake komputer, jreeeng!"
"Diiik!" Hesty berseru jengkel. "Hati-hati kalau omong!"
"Yeee-aah, don't be angry, friend !" Dikdik kian bertingkah, "Di rumah aku setiap saat duduk di depan komputer. Sebelum pergi sekolah tadi, aku juga sempat memainkannya. Pulang sekolah, sebelum tidur…."
"Waaaah!" seru anak-anak serempak.
"Begitulah, guys!" kata Dikdik sambil melangkah lebar, pergi. "Sombongnyaaa!" desisi Mila.
"Lo, kalau setiap saat dia di depan komputer, kapan belajarnya? Bisa-bisa anjlok tuh peringkatnya!" komentar Niknok.
Pulang sekolah, Butet langsung menuju ruang kerja mamanya. Biasanya terdengar suara tak-tik-tok mesin ketik mamanya. Namun, hari ini Mama sudah bilang akan pergi mengantarkan naskah ke penerbit langganannya.
Butet tak ingat lagi, sejak kapan dia tahu kalau mamanya seorang pengarang. Barangkali sejak dia bisa membaca. Di rak buku ada banyak karya ibunya, maka dia pun mulai melahap buku-buku cerita itu.
Ceritanya macam-macam dan bagus-bagus! Kadang sampai larut malam mamanya masih mengetik juga. Agar suaranya tak mengganggu, Mama sering menumpukkan benda lembut di bawah mesin ketiknya.
Namun, tetap saja suaranya yang khas itu akan mengusik telinga seluruh penghuni rumah.
"Yah, seandainya Mama mampu beli komputer," pikirnya sambil mengelus-elus mesin ketik yang diberi nama Si Denok oleh mamanya itu, "Tentu takkan terdengar lagi tak tok yang sering membangunkanku dari mimpi itu!"
Butet pernah menyinggung tentang kecanggihan komputer pada mamanya. Komputer yang pernah dilihatnya di rental saat kelompoknya menyusun laporan IPA tempo hari.
"Kalau pake komputer kan bunyinya halus. Hampir tak terdengar. Datanya juga bisa disimpan di hard-disk. Kalau ingin meratakan garis pinggir, bikin nomor, huruf miring, … Semuanya tinggal diklik, kliiiiik saja!" Butet jadi ikut-ikutan promosi komputer seperti Dikdik.
Waktu itu mamanya hanya tersenyum lembut. Kemudian katanya, "Butet, bukannya Mama tak mau pakai komputer. Hampir semua pengarang teman Mama memang sudah pakai komputer…."
"Makanya, Mam, belilah secepatnya!" "Yah, kita lihat saja nanti," Mama melanjutkan pekerjaannya. "Masalahnya pasti karena belum punya uang," pikir Butet.
Papa Butet telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Mama menghidupi kedua anaknya dari pekerjaan sebagai pengarang. Untuk biaya kuliah Bang Eka di ITB, Mama pun harus banting tulang. Belum mencicil rumah, biaya sekolah Butet. Ah, kasihan sekali Mama!
Tiba-tiba Butet merasa menyesal sudah mendesak Mama agar beli komputer. Mengapa mesti panas hati oleh ocehan si Dikdik? Akibatnya saja sekarang sudah kelihatan. Ulangan-ulangan Dikdik anjlok terus.
Dikdik bahkan sudah dikalahkan si Niknok yang selama itu cuma peringkat 10. Sudah beberapa kali pula Bu Hatimah menegur Dikdik.
Karena Dikdik sering terkantuk-kantuk di kelas. Tentu anak itu telah begadang di depan komputernya!
Sudah sore tetapi Mama belum pulang juga. Butet jadi gelisah dan khawatir. Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada mamanya?
Oh, Tuhan, tolong lindungi Mama, pekiknya dalam hati. "Biarlah kami tak punya komputer. Asal Mama pulang dengan selamat.
Lagian si Denok yang sangat berjasa ini kan masih bisa dipakai," doa Butet saat Sholat Asar.
Akhirnya Mama pulang juga. Butet sampai memeluknya, menciuminya begitu Mama muncul. Dia lega sekali. Dan lebih lega dan gembira lagi saat melihat bawaan Mama kali ini.
"Komputer, Ma? Dari mana? Katanya belum punya uang?"
"Ini hadiah dari penerbit Mama. Karena ada buku Mama yang meledak di pasaran," sahut Mama tenang sekali.
Karena itu lah Mama pulang terlambat. Menunggu sopir bosnya yang akan mengantarnya pulang beserta komputernya. Oh, Tuhan, terima kasih, doa Butet beryukur.
Oleh: Pipiet Senja
Bobo No. 2/XXIX